"Aku adalah Pena, yang hanya berfungsi ketika ku berkarya"

Sabtu, 17 Desember 2011

Kujawab dengan Sastra


Perenungan atas kompleksitas para-semesta belum jua berakhir. Upaya manusia dalam memaknai dan menelikung kepelikan tersebut sampai sekarang pun urung menyua ujung. Bagaimana ini? Semua nampak unjuk gigi tanpa sedikitpun makna tersentuk khalayak. Alih-alih menguasai, memahami, untuk menemukan secercah kepastian tentang realitas, manusia-manusia itu hanya bercanda dengan moralitas tak jelas.

Sesaat jawaban itu nampak. Ekspansi jagad rupanya ditakdirkan untuk menaungi perjalanan tiap generasi dengan rahasia yang terus berlipat. Selalu saja ada kemungkinan bagi kebaruan yang menyanggah setiap penemuan. Kebenaran tak pernah bertahan nyatanya kini. Perenunganlah yang menyua kemapanan. Diantara hela nafas panjang yang menderit langkah pejuang suci, terdengar orasi-orasi tak bernilai yang semakin menelanjangi setiap rasio yang hendak ku keluarkan, dan hendak ku lempar ke muka-muka para pendosa.

Alhasil, dia hanya terdiam, tak ada sedikit pun manifestasi maaf. Entah karena kemampuan untuk merelung dan menilik manusia atau memang rupanya ia harus hidup dan berjalan dalam aras takdir yang kadang menjemukan ini. Biarkan dia menjadi cermin, cermin yang kotor. Yang hanya akan menjadi wujud kotor, siapa pun materi yang ada disebrangnya.

Mereka membuang muka. Kulihat ludah berjatuhan tanda kebesaran ego sang pemilik publik. Anehnya, bagaimana mungkin kedigjayaan fikir bisa merengkuh keangkuhan, yang dulu sempat terenyak dalam kebodohan. Atau bahkan, asumsi pribadi jadi hukum yang mereka genggam, dan rahasia yang lain ia sembunyikan untuk bawaku melawan musuh dibalik benteng-benteng tebal. Antara kemunafikan, dan konspirasi-konspirasi itu ku baca lancar kawan. 

Ia dan mereka, ku baca jelas. Bahkan dengan mata tertutup pun aku mampu merasakannya. Merasakan kegigihannya saat mencoba merasuki nalar manusia dan menyentil kedalaman renung agar arah bacaan tidak melenceng, apalagi berbalik jalan. Ia juga merayapi, kadangkala hingar-bisingnya bakar semangat orang-orang jernih diantara keheningan agar manusia nampak tersadar. Begitulah, hingga pada akhirnya kebenaran menyeruak di antara kelamnya penafsiran.   
    
Dan biarkan aku keluar barisan, dan terasingkan. Dan kuurungkan lagi pedang yang sebelumnya telah kuhunuskan.
Ini pilihan, dan akan menjadi suatu kebahagiaan bagi mereka yang kemudian bisa mengingat apa-apa yang terlupa. Sebab, harapan dan kemungkinan seringkali bersembunyi di sana. 

Manusia; hidup memang hanya mesti percaya, hanya entah pada ayat yang mana. Dan biarkan kujawab dengan sastra.


0 komentar:

Posting Komentar