Di sabtu pagi, seperti pagi biasanya, secangkir kopi dan beberapa batang rokok menemani ritual pagiku. Kulihat, komputer yang semalam lupa untuk ku matikan, nampak beberapa notifikasi dari akun facebook ku. Dan munculah sebuah notifikasi “Hasanuddin Lukman El-Hakim Zindan menandai Anda dalam catatan "Lagi dan Lagi [The Foolest Boy]".”. kubaca, ternyata temanku melontarkan wacana dalam tulisannya, tentang “budaya kebodohan yang ada dalam pribadinya” mungkin itu yang bisa ku tangkap dalam tulisannya, karena memang tulisan berbau metafor agak sulit untuk ditafsirkan satu sisi.
Dan tertarik untuk beropini tentang karya temanku yang satu itu, maka terpikir untuk membuat satu catatan untuk menyikapi wacana yang sebelumnya dilontarkan. Tentang Kebodohan, ya kebodohan.
Apa itu bodoh?
Bodoh adalah kata negatif yang digunakan atas sesuatu yang semena-mena , takabur, result dari sebuah aksi yang menggampangkan sebuah konteks. Bodoh itu bukan khilaf. Khilaf dilakukan secara tidak sengaja, dan bodoh itu sengaja. Namun kalau sesuatu yang terlihat bodoh itu ternyata tidak sengaja atau menjadi nasib hidup , maka saya akan menyebutnya 'tertinggal', 'terbelakang' atau “memiliki sebuah standard yang dibawah rata-rata", (tapi bukan bodoh) , ini sebuah pengertian yang objective tanpa penekanan negatif.
Dan ingat, pada ahli banyak mengatakan jika hakikatnya manusia memiliki segala potensi yang mampu menjadikannya seorang khalifah dimuka bumi. Pertanyaannya, apakah Tuhan tega atau dimana logika Tuhan untuk menjadikan makhluk yang bodoh sebagai pemimpin di bumi?
Kazuo Murakami, Ph. D, ahli genetika terkemuka didunia asal Jepang, dalam bukunya “The Divine Message Of The DNA” menyatakan, manusia hanya mampu mengaktifasi potensi 5% dari 100% yang ada dalam tubuhnya. Jika Einstain dijuluki manusia terpintar pada abad 20, atau dikisahkan bagaimana Shahabat Umar Bin Khatab mampu melihat dengan jarak pandang 80 Kilometer, maka itu dikatakan hanya beberapa persen potensi yang mampu untuk diaktifasi oleh seorang manusia. Dan anda bayangkan jika aktifasi itu mampu ditingkatkan seorang manusia.
Maka apalagi alasan kita untuk menghakimi orang lain, atau mungkin menghakimi diri pribadi “BODOH” ? lalu mengapa jika itu terjadi, masih ada kata “BODOH”?
Bodoh adalah sesuatu yang dilakukan karena pembodohan. Begitulah kira-kira jika saya boleh berpendapat. Ya, bodoh itu akibat. Dari sebuah sebab yang disebut dengan aktifitas “pembodohan”. Sehari-hari kita mencerna sebuah acara televisi yang hakikatnya tak mampu membuat kita jadi pribadi yang lebih tangguh, itu pembodohan. Bahkan, sistem pendidikan yang hanya menjadikan seorang manusia jadi pekerja modern tanpa mengindahkan sisi-sisi sosial sebagaimana prinsip intelektual itu sendiri, itu juga pembodohan. Dan masih banyak kasus yang lainnya.
Jadi intinya, bodoh hanyalah sebuah sugesti yang diterima dari sebuah aktifitas pembodohan yang kita lakukan, atau mungkin menerpa kita. Bahkan mungkin, kata bodoh yang kita keluarkan mampu ditafsirkan sebuah rasa ke-tidak-bersyukur-an kita akan anugerah yang Tuhan berikan dalam wujud potensi-potensi yang ada dalam diri kita. Maka, yang menentukan kita jadi pintar atau “kurang pintar” adalah sejauh mana kita mampu memanfaatkan dan memaksimalkan segala potensi yang ada dalam diri kita.
0 komentar:
Posting Komentar