"Aku adalah Pena, yang hanya berfungsi ketika ku berkarya"

Sabtu, 17 Desember 2011

FILM SEBAGAI MEDIA DAKWAH

Oleh : Rizky Sopiyandi
(Disampaikan pada sesi materi Produksi Film Dakwah PKM OMBAK KPI UIN SGD Bandung )

Dewasa ini seringkali kita melihat atau bahkan terlibat dalam suatu kegiatan dakwah islamiyyah di masyarakat sekitar kita. Namun seringkali kita mengabaikan efektifitas dari kegiatan dakwah tersebut. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa kegiatan dakwah yang ada terkesan monoton. Monoton disini berati adanya suatu metode dari dakwah tersebut dinilai kurang memberikan efek yang besar bagi para mad’u dalam menerima informasi.

Maka sudah sepatutnya para pelaku dakwah beralih dari formula dakwah yang sudah lazim dilakukan. Seperti halnya dakwah bil Lisan. Kegiatan dakwah ini yang notabene marak dimasyarakat bukan berarti bernilai tidak baik. Namun jika kita lihat dari efektifitas penerapan informasi dari kegiatan dakwah tersebut sangatlah kurang memadai jika kita lihat maraknya informasi sekuler yang menerpa kita sehari-hari. Oleh karena itu menjadi keharusan adanya strategi baru dalam pelaksanaan suatu kegiatan dakwah.

Fenomena tersebut adalah indikasi dari kurang efektifnya kegiatan dakwah yang akhir-akhir ini dilakukan para pelaku dakwah. Kita lihat sejarah dakwah islam di negeri ini. Sejarah mencatat, media dakwah melalui seni dan budaya pada masa itu adalah dakwah yang efektif dan terasa signifikan dalam hal penerapan ideologi Islam pada masyarakat pada zamannya.

Seperti halnya media film. Film adalah media yang begitu pas dalam memberikan influence bagi masyarakat umum. Penonton film seringkali terpengaruh dan cenderung mengikuti seperti halnya peran yang ada pada film tersebut. Maka ini dapat menjadi peluang yang baik bagi pelaku dakwah ketika efek dari film tersebut bisa diisi dengan konten-konten keislaman.

Film bisa menjadi suatu tontonan yang menghibur, dan dengan sedikit kreatifitas kita bisa memasukan pesan-pesan dakwah pada tontonan tersebut seperti hanya para pendahulu kita. Menurut Onong Uchyana Efendi, film merupakan medium komunikasi yang ampuh, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Bahkan, Jakob Sumardjo, dari pusat pendidikan film dan televisi, menyatakan bahwa film berperan sebagai pengalaman dan nilai.

Senada dengan pendapat diatas, Khaidar Bagir seorang CEO Mizan, menyatakan bahwa Kegiatan pengtransformasian ajaran Islam akan dinilai sia-sia apabila para pelaku dakwah tidak memanfaatkan media sebagai suatu kekuatan dalam pelaksanaan dakwah kontemporer. Oleh karena itu, film bisa menjadi suatu solusi ketika masyarakat mengalami suatu stagnansi dalam penerimaan informasi keislaman.

Industri Film Di Indonesia dan Peluang Dakwah
Di Indonesia, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep”. Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.

Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumk1an. Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.

Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini diproduksi oleh NV Java Film Company. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.
Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop.

Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.

Film-film Indonesia selama dua dekade ini (1980-an dan 1990-an) terpuruk sangat dalam. Insan film Indonesia seperti tak bisa berkutik menghadapi arus film impor. Masalah yang dihadapi harus diakui sangatlah kompleks. Mulai dari persoalan dana, SDM, hingga kebijakan pemerintah. Persoalan ini dari tahun ke tahun semakin melebarkan jarak antara film, bioskop dan penonton, tiga komponen yang seharusnya memiliki pemahaman yang sama terhadap sebuah industri film. Dan itu menjadi suatu tantangan pagi para sineas film dakwah.

Di awal millenium baru ini tampaknya mulai ada gairah baru dalam industri film Indonesia terutama film yang mengusung tema Dakwah. Seperti halnya film Kiamat Sudah Dekat, Kun Fa Yakun, Perempuan Berkalung Sorban, Ketika Cinta Bertasbih, Hingga film Ayat-ayat Cinta yang begitu fenomenal akhir-akhir ini semakin memberikan peluang bagi para sineas dakwah. 

Kenyataan ini cukup memberi harapan bagi para sineas-sineas dakwah, karena tidak hanya film yang ber-genre-kan horor, percintaan remaja atau komedi berbalut seksualitas yang bisa diterima masyarakat umum namun film yang bernuansakan islam pun laku untuk diedar. Maka hal tersebut  bisa menjadi suatu modal besar bagi para sineas dakwah dalam mengtransformasikan nilai keislaman pada media ini. 

Unsur-Unsur Dari Film
  1. Director (Sutradara), Bertugas memimpin dan mengarahkan keseluruhan proses pembuatan film.
  2. Pembuat Ide cerita, Pencetus atau pemilik ide cerita pada naskah film yang diproduksi.
  3. Script Writer, Bertugas menterjemahkan ide cerita ke dalam bahasa visual gambar atau skenario.
  4. Kameramen, Bertugas mengambil gambar atau mengoperasikan kamera saat shooting.
  5. lighting, Bertugas mengatur pencahayan dalam produksi film.
  6. Tata musik (music director), Bertugas membuat atau memilih musik yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film.
  7. Tata kostum,  (costume designer), Bertugas membuat atau memilih dan menyediakan kostum atau pakaian yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film.
  8. Make up Artist, Bertugas mengatur make up yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film
  9.  Sound effect (sound recorder), Bertugas membuat atau memilih atau merekam suara dan efek suara yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film.
  10. Tata artistik (artistic director), Bertugas membuat dan mengatur latar dan setting yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film.
  11. Editor, Bertugas melakukan editing pada hasil pengambilan gambar dalam produksi film.
  12. Kliper, Bertugas memberi tanda pengambilan shot dalam produksi film.
  13. Pencatat adegan, Bertugas mencatat adegan atau shot yang diambil serta kostum yang dipakai dalam produksi film.
  14. Casting, Bertugas mencari dan memilih pemain yang sesuai ide cerita dalam produksi film.
Tahapan Pembuatan Film
PRA PRODUKSI
1.       Analisis Ide Cerita
Sebelum membuat cerita film, kita harus menentukan tujuan pembuatan film. Hanya sebagai hiburan, mengangkat fenomena, pembelajaran/pendidikan, dokumenter, ataukah menyampaikan pesan moral tertentu. Hal ini sangat perlu agar pembuatan film lebih terfokus, terarah dan sesuai. Jika tujuan telah ditentukan maka semua detail cerita dan pembuatan film akan terlihat dan lebih mudah. Jika perlu diadakan observasi dan pengumpulan data dan faktanya. Bisa dengan membaca buku, artikel atau bertanya langsung kepada sumbernya.
Ide film dapat diperoleh dari berbagai macam sumber antara lain:
• Pengalaman pribadi penulis yang menghebohkan.
• Percakapan atau aktifitas sehari-hari yang menarik untuk difilmkan.
• Cerita rakyat atau dongeng.
• Biografi seorang terkenal atau berjasa.
• Adaptasi dari cerita di komik, cerpen, atau novel.
• Dari kajian musik, dll
2.       Menyiapkan Naskah
Jika penulis naskah sulit mengarang suatu cerita, maka dapat mengambil cerita dari cerpen, novel ataupun film yang sudah ada dengan diberi adaptasi yang lain. Setelah naskah disusun maka perlu diadakan Breakdown naskah. Breakdown naskah dilakukan untuk mempelajari rincian cerita yang akan dibuat film.
3.       Menyusun Jadwal dan Budgeting
Jadwal atau working schedule disusun secara rinci dan detail, kapan, siapa saja , biaya dan peralatan apa saja yang diperlukan, dimana serta batas waktunya. Termasuk jadwal pengambilan gambar juga, scene dan shot keberapa yang harus diambil kapan dan dimana serta artisnya siapa. Lokasi sangat menentukan jadwal pengambilan gambar.
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat menyusun alokasi biaya:
• Penggandaan naskah skenario film untuk kru dan pemain.
• Penyediaan kaset video.
• Penyediaan CD blank sejumlah yang diinginkan.
• Penyediaan property, kostum, make-up.
• Honor untuk pemain dan konsumsi.
• Akomodasi dan transportasi.
• Menyewa alat jika tidak tersedia.
4.       Hunting Lokasi
Memilih dan mencari lokasi/setting pengambilan gambar sesuai naskah. Untuk pengambilan gambar di tempat umum biasanya memerlukan surat ijin tertentu. Dalam hunting lokasi perlu diperhatikan berbagai resiko seperti akomodasi, transportasi, keamanan saat shooting, tersedianya sumber listrik, dll. Setting yang telah ditentukan skenario harus betul-betul layak dan tidak menyulitkan pada saat produksi. Jika biaya produksi kecil, maka tidak perlu tempat yang jauh dan memakan banyak biaya.

5.       Menyiapkan Kostum dan Property
Memilih dan mencari pakaian yang akan dikenakan tokoh cerita beserta propertinya. Kostum dapat diperoleh dengan mendatangkan desainer khusus ataupun cukup membeli atau menyewa namun disesuaikan dengan cerita skenario. Kelengkapan produksi menjadi tanggung jawab tim property dan artistik.
6.       Menyiapkan Peralatan
Untuk mendapatkan hasil film/video yang baik maka diperlukan peralatan yang lengkap dan berkualitas. Peralatan yang diperlukan (dalam film minimalis) :
• Clipboard.
• Proyektor.
• Lampu.
• Kabel Roll.
• TV Monitor.
• Kamera video S-VHS atau Handycam.
• Pita/Tape.
• Mikrophone clip-on wireless.
• Tripod Kamera.
• Tripod Lampu.
7.       Casting Pemain
Memilih dan mencari pemain yang memerankan tokoh dalam cerita film. Dapat dipilih langsung ataupun dicasting terlebih dahulu.

TAHAP PRODUKSI
1.       Tata Setting
Set construction merupakan bagunan latar belakang untuk keperluan pengambilan gambar. Setting tidak selalu berbentuk bangunan dekorasi tetapi lebih menekankan bagaimana membuat suasana ruang mendukung dan mempertegas latar peristiwa sehingga mengantarkan alur cerita secara menarik.

2.       Tata Suara
Untuk menghasilkan suara yang baik maka diperlukan jenis mikrofon yang tepat dan berkualitas. Jenis mirofon yang digunakan adalah yang mudah dibawa, peka terhadap sumber suara, dan mampu meredam noise (gangguan suara) di dalam dan di luar ruangan.


3. Tata Cahaya
Penataan cahaya dalam produksi film sangat menentukan bagus tidaknya kualitas teknik film tersebut. Seperti fotografi, film juga dapat diibaratkan melukis dengan menggunakan cahaya. Jika tidak ada cahaya sedikitpun maka kamera tidak akan dapat merekam objek.
Penataan cahaya dengan menggunakan kamera video cukup memperhatikan perbandingan Hi light (bagian ruang yang paling terang) dan shade (bagian yang tergelap) agar tidak terlalu tinggi atau biasa disebut hight contrast. Sebagai contoh jika pengambilan gambar dengan latar belakang lebih terang dibandingkan dengan artist yang sedang melakukan acting, kita dapat gunakan reflektor untuk menambah cahaya.
Reflektor dapat dibuat sendiri dengan menggunakan styrofoam atau aluminium foil yang ditempelkan di karton tebal atau triplek, dan ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan.
Perlu diperhatikan juga tentang standart warna pencahayaan film yang dibuat yang disebut white balance. Disebut white balance karena memang untuk mencari standar warna putih di dalam atau di luar ruangan, karena warna putih mengandung semua unsur warna cahaya.

4. Tata Kostum (WARDROBE)
Pakaian yang dikenakan pemain disesuaikan dengan isi cerita. Pengambilan gambar dapat dilakukan tidak sesuai nomor urut adegan, dapat meloncat dari scene satu ke yang lain. Hal ini dilakukan agar lebih mudah, yaitu dengan mengambil seluruh shot yang terjadi pada lokasi yang sama. Oleh karenanya sangat erlu mengidentifikasi kostum pemain. Jangan sampai adegan yang terjadi berurutan mengalami pergantian kostum. Untuk mengantisipasinya maka sebelum pengambilan gambar dimulai para pemain difoto dengan kamera digital terlebih dahulu atau dicatat kostum apa yang dipakai. Tatanan rambut, riasan, kostum dan asesoris yang dikenakan dapat dilihat pada hasil foto dan berguna untuk shot selanjutnya.

5. Tata Rias
Tata rias pada produksi film berpatokan pada skenario. Tidak hanya pada wajah tetapi juga pada seluruh anggota badan. Tidak membuat untuk lebih cantik atau tampan tetapi lebih ditekankan pada karakter tokoh. Jadi unsur manipulasi sangat berperan pada teknik tata rias, disesuaikan pula bagaimana efeknya pada saat pengambilan gambar dengan kamera. Membuat tampak tua, tampak sakit, tampak jahat/baik, dll.
TAHAP PASCA PRODUKSI
1. Proses Editing
Secara sederhana, proses editing merupakan usaha merapikan dan membuat sebuah tayangan film menjadi lebih berguna dan enak ditonton. Dalam kegiatan ini seorang editor akan merekonstruksi potongan-potongan gambar yang diambil oleh juru kamera.
Tugas editor antara lain sebagai berikut:
• Menganalisis skenario bersama sutradara dan juru kamera mengenai kontruksi dramatinya.
• Melakukan pemilihan shot yang terpakai (OK) dan yang tidak (NG) sesuai shooting report.
• Menyiapkan bahan gambar dan menyusun daftar gambar yang memerlukan efek suara.
• Berkonsultasi dengan sutradara atas hasil editingnya.
• Bertanggung jawab sepenuhnya atas keselamatan semua materi gambar dan suara yang diserahkan kepadanya untuk keperluan editing.

2. Review hasil Editing
Setelah film selesai diproduksi maka kegiatan selanjutnya adalah pemutaran film tersebut secara intern. Alat untuk pemutaran film dapat bermacam-macam, dapat menggunakan VCD/DVD player dengan monitor TV, ataupun dengan PC (CD-ROM) yang diproyeksikan dengan menggunakan LCD (Light Computer Display). Pemutaran intern ini berguna untuk review hasil editing. Jika ternyata terdapat kekurangan atau penyimpangan dari skenario maka dapat segera diperbaiki.

3. Presentasi dan Evaluasi
Setelah pemutaran film secara intern dan hasilnya dirasa telah menarik dan sesuai dengan gambaran skenario, maka film dievaluasi bersama-sama dengan kalangan yang lebih luas. Kegiatan evaluasi ini dapat melibatkan :
• Ahli Sinematografi, Untuk mengupas film dari segi atau unsur dramatikalnya.
• Ahli Produksi Film, Untuk mengupas film dari segi teknik, baik pengambilan gambar, angle, teknik lighting, dll.
• Ahli Editing Film (Editor), Untuk mengupas dari segi teknik editingnya.
• Penonton/penikmat film, Penonton biasanya dapat lebih kritis dari para ahli atau pekerja film. Hal ini dikarenakan mereka mengupas dari sudut pandang seorang penikmat film yang mungkin masih awam dalam pembuatan film.

Bahan Bacaan
Aep Kusnawan, dkk., Komunikasi Dan Penyiaran Islam, Benang Merah Press, Bandung , 2004.
Onong Uchyana Effendi, televisi Siaran Teori dan Praktik, Mandar Maju, Bandung, 1993.
Heru Sutadi, Sejarah Film dan Perkembangan Film Indonesia, Grafiti Press, Jakarta. tt
Mambor, Victor C. (2000). “Satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia”. Jakarta: Kunci Cultural Studies Center.
Straubhaar, Joseph dan LaRose, Robert (2002). “Media Now: Communication Media in the Information Age”. Wadsworth.

0 komentar:

Posting Komentar