Celotehku menggumam lagi. Bukan dengan berteriak, kali ini ku hanya ingin membisikan kata-kata nakal tentang persahabatan, tentang perjalanan, tentang kehidupan. Tegakkan cita itu kawan, cita yang dulu sempat kita tawakan dalam gelapnya masa depan. Mungkin ini nasibnya, biarkan ku pilih jalan berbeda meski tujuan kita sama.
Hari itu aku tiada. Tak sua mata, tak jumpa raga. Saat kau cari aku dimana, saat kau kerlingkan mata disekeliling gedung tua. Aku ada sebenarnya, aku disisimu, meski dalam bentuk do’a. Namun, ku ingin kau percaya. Saat ku berada di kamar gelap tak bermasa, hatiku tak pernah mati. Pikirku tak pernah musnah. Ku wakilkan jari-jari ini untuk sebuah karya dimana kau akan merasa bangga. Dan mengklaim dirimu sendiri, bahwa kau adalah temanku. Bahwa kau pernah memberi warna dihidupku.
Hentikan semua pragmatisme itu, pikiran kita masa lalu. Kini, jalankan apa yang sebelumnya sudah kau mulai. Jangan tunggu aku. Jangan khawatirkan aku. Aku tetap bermain disitu. Tetap merayumu dengan celoteh liarku. Tetap mengganggumu dengan tingkah yang akan buatmu merindukan amarah. Aku ada, tapi berikan sedikit waktu untukku akhiri segala perselingkuhan cita-cita ini.
Ucapku tak bertuan kadang. Fatwaku tak bermakna memang. Mohon kawan, jangan kau ucap akhir untuk segala azas formalitas. Ucapkanlah lantang, bahkan teriakanlah bahwa ini hanyalah sebuah gerbang besar yang telah kau dobrak kasar. Biarkan kakimu melangkah liberal, jangan pernah terhenti meski sejengkal.
Bersyukurlah kawan. Namun jangan kau menghukumku dengan pola pikirmu. Jangan kau vonis aku dengan paradigma dulu. Kita sama memulai langkah ini, meski ditengah jalan aku memungkiri jalan yang sudah dia tentukan sebelumnya. Ku berbelok sejenak. Kunikmati jalan itu. Meski kadang ku lupa jalan pulang, tapi aku tetap bagian dari cita itu. Dan kau pun tau aku pulang membawa cinderamata yang menegaskan jalan kita. Aku pulang, dan kau pergi. Tapi tak sedikit pun aku sesali.
Mari renungkan sejenak. Tancapkan segala bangunan prinsif itu, jaga dia dari kerapuhannya. Sesekali, liarkan dia kawan, sebari menunggu sang malam menyelimuti kelelahan. Jangan pernah diburu ragu, tanya hatimu, tanya jiwa yang mungkin pernah terbohongi waktu. Tenanglah kawan, aku akan datang ditengan kebingunganmu menapaki seluk jalan baru yang penuh batu. Jalan yang penuh dengan tantangan. Jalan yang penuh dengan duri-duri hitam, jalan yang berlumur darah. Jalan yang penuh dengan tipuan kemunafikan.
Jangan gentar kawan, apalagi kau urungkan langkah itu. Lanjutkan, bahkan berlarilah. Aku dibelakangmu, aku mengikuti mu bukan untuk mencelakaimu. Aku pun belari mengejarmu untuk bersama berdampingan melewatinya.
Sekali lagi ku ucap, tenanglah kawan. Kulihat ketakutan di mukamu. Kulihat tetesan keringat dingin dikeningmu. Dan ku dengar hembus nafasmu memburu segala keyakinanmu. Genggamlah tanganku, tangan yang akan menopangmu menuju titik yang kau cinta. Genggamlah kuat, jangan kau ragu jangan kau lihat sebagai muslihat. Ku kenal jalan itu. pernah ku bercumbu dengan kehampaannya. Dia tak lain jalan yang membuatku seperti ini. Jalan perselingkuhan cita. Jalan yang membuatku kini beda. Jalan yang membuatku menatap dunia lebih bijaksana.
0 komentar:
Posting Komentar