"Aku adalah Pena, yang hanya berfungsi ketika ku berkarya"

Jumat, 23 Desember 2011

Membincang Budaya Apresiasi; Dibalik Tombol Jempol



Kita lebih mudah menilai dan mengukum dari pada memuji dan mengagumi. Namun menilai serta mengadili orang lain sering menghantar orang kepada ketidak-puasan. Jadilah pencipta damai dengan cara memuji dan mengagumi keberadaan orang lain.
-Tarsis Sigho -


Era Informasi dewasa ini ditandai dengan munculnya website-website dinamis yang sering kali kita sebut Social Networking. Sebelumnya kita telah mengenal Yahoo Messenger, Frienster, Twitter, hingga yang paling fenomenal Facebook. Hari ini siapa yang tak kenal Facebook. Jejaring sosial besutan Mark Zuckenberg ini seakan menjadi gaya hidup baru. Bukan hanya dikalangan anak muda, namun setiap kalangan dengan berbagai profesi dan jenis karakter manusia hampir semua mempunyai akun jejaring sosial yang satu ini.

Bagi user jejaring sosial Facebook, tentu saja mereka akan mengenal sebuah tool yang bernama “LIKE”. “Like” atau “suka” adalah tombol dengan nilai fungsi apresiasi terhadap sebuah konten yang dibagikan dijejaring sosial facebook. Dan jika mentelaah dan mengalih wacanakan hal tersebut, betapa anehnya –jika dibandingkan dengan realitas- kita lebih rajin untuk mengapresiasi objek diluar kita pada dunia maya ketimbang di dunia realitas. Apresiasi karya yang dilakukan dengan melakukan pengamatan, kemudian melakukan penilaian, dan selanjutnya memberikan penghargaan terhadap koenten yang dibagikan oleh orang lain di dunia maya.

Tombol “like” facebook memang sering kali kita anggap sebagai sebuah hal yang biasa. Variasi setiap individu dalam memberikan “like” memang beragam, bisa dikarenakan konten tertentu berasal dari orang yang sangat dekat (faktor kedekatan),  karena konten itu benar-benar saya sukai (subjektif), karena yang punya konten sering menekan tombol LIKE untuk konten yang kita sebar di Facebook (faktor primordialisme), atau mungkin memang hanya iseng. Namun yang pasti, LIKE merupakan simbol bagi setiap user saling memperhatikan dan mengapresiasi setiap karya.

Ini budaya yang ‘sehat’. Karena hari ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa kita (Bangsa Indonesia) sangatlah miskin dengan budaya tersebut. Budaya yang begitu murah dan bermanfaat. Kita bisa melihat di media bagaimana orang-orang beraktifitas saling mengecilkan satu sama lain, bukan sebaliknya. Atau kita bisa melakukan penelitian pada diri kita sendiri, berapa kali dalam sehari kita memuji orang lain, dan bandingkan dalam hal mengkritik atau menjatuhkan orang lain.

Dale Carnegie, penulis, pengajar dan seorang pelatih/motivator asal Amerika Serikat dalam bukunya, “Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain” mengatakan, “seorang bodoh hanya mampu mengkritik, dan hampir seluruh orang bodoh melakukan itu”. Maka bukanlah sebuah hal yang sulit untuk selalu mengapresiasi setiap karya orang lain sebagai bentuk melestarikan budaya saling membesarkan. Dan kita bisa bayangkan bagaimana efektifnya ini jika kita lakukan dalam media sosial seperti halnya facebook.

0 komentar:

Posting Komentar