Petang itu, lalu lalang kehidupan masih asyik berada dijalurnya. Teriakan bayi-bayi lucu, bisingnya suara TV, hingga suara beberapa remaja yang sedang membincangkan liburan sekolahnya nampak jelas ditelingaku. Petang itu biasa, tak ada fenomena disekitarnya.
Dan aku masih tetap sama, dikejar waktu kelulusan kuliah yang seakan tak kenal kasian, tak mau ia menunggu. Terdiam tertegun didepan komputer seraya jemari tak henti menari menggoreskan kata demi kata dalam sebuah skripsi. Ya, skripsi. Makhluk yang satu ini memang perlu perhatian lebih dariku. Tak ada yang membantu, atau sekedar menemani saatku bergelut dengan kerumitan yang aku tuangkan dalam pembahasan.
Tak ada yang membantu atau sekadar menemani, tak ada seorang pun. Hingga aku tersadar, ditengah pergulatan jemari dengan keyboard dan tatapan tajam mata ini ke arah layar monitor, tak sengaja lengan ini menyenggol sebuah cangkir hingga cangkir yang berisi kopi itu tumpah dan mengotori karpet kamarku.
“ah.. padahal aku baru menyeduhnya” teriakku dalam hati, sebari memerhatikan sisa-sisa kopi yang ada di cangkir tersebut dengan bungkus rokok mild yang hanya tersisa beberapa batang rokok didalamnya, aku pun menatap mereka (Cangkir kopi dan Bungkus Rokok). Ku perhatikan cangkir itu, dan tangan kiriku mengambil bungkusan rokok dan membuka bungkus rokok tersebut. Sejenak ku berpikir, dan berkata dalam hatiku, “Maafkan aku teman, mungkin ini petanda protes karena aku melupakan kalian”.
Ya, ternyata aku lupa, aku tak sendiri berjuang. Ada teman yang selalu menemaniku. Selalu mendengarkan tanpa protes segala keluhan-keluhanku. Teman yang selalu memberikan kehangatan ditengah dinginnya dunia memperlakukanku. Teman yang selalu menemani pikiran-pikiran kosongku. Meski banyak orang berkata ia tak berdampak baik pada kesehatanku, ah... aku tak peduli, setidaknya untuk saat ini aku memerlukan mereka. Dan mereka tidak akan marah, jika aku hanya ada, saat aku membutuhkan mereka.
Mereka temanku, yang selalu menemaniku bergelut didepat komputer. Temanku yang selalu menemaniku saatku bangun tidur, selesai makan, dan diwaktu bosan datang saat menunggu dosen kuliahku. Mereka temanku, mereka secangkir kopi dan sebatang rokok.
*****
*****
Bagiku, secangkir kopi ini adalah kekuatan, ku artikan sebagaimana kata kopi itu berasal. Kopi berasal dari bahasa arab qahwah yang berarti kekuatan. Kata qahwah kembali mengalami perubahan menjadi kahveh yang berasal dari bahasa Turki dan kemudian berubah lagi menjadi koffie dalam bahasa Belanda. Penggunaan kata koffie segera diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kopi yang dikenal saat ini. Begitu pula bagiku, secangkir kopi bermakna secangkir kekuatan yang menjadi suplemen ditengah kemalasanku berkreatifitas.
Lalu bagaimana dengan rokok?
Banyak orang menyarankanku untuk menjauhi temanku yang satu ini. Orang-orang itu berkata jika temanku ini perlahan-lahan akan membuatku mati, meski anehnya tak pernah aku melihat baik dalam realita maupun dalam Tv diberitakan ada orang yang mati dalam keadaan merokok. Mereka berkata, jika temanku itu mengandung lebih dari empat ribu zat-zat dan dua ribu diantaranya telah dinyatakan berdampak tidak baik bagi kesehatanku. Tapi, seperti yang sebelumnya sudah kukatakan, aku tak peduli itu semua, setidaknya untuk saat ini.
Sebagaimana bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual perdamaian, dan di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata. Begitu pula bagiku, rokok adalah perangkat ritual pagiku, yang mendamaikan sejenak pikiran dari kemelut kehidupan. Menjadi teman yang serasi untuk temanku yang lain, “si secangkir kekuatan”. Rokok adalah petanda bahwa aku sehat, karena konon orang sakit di-tidak-perboleh-kan untuk merokok, dan dalam keadaan sehat aku lebih percaya diri balam berkreasi. Terima kasih teman, setidaknya untuk saat ini kau sunggu bermanfaat.
***
Begitulah ku maknai kedua temanku. Setidaknya, aku mencoba melihat sisi baik dari kedua temanku tersebut. Bukankah segala sesuatu itu akan menjadi sebuah konklusi nilai tergantung kepada persepsi subjek yang menilainya. Dan kali ini, saat ini, aku lebih menilai temanku ini dengan persepsi dari sudut kemanfaatan, dan tidak menyibukan diri menilai ke-tidak-baik-an kedua temanku tersebut.
Dan ketika kita mengetahui kita tak sendiri, secara otomatis sebuah spirit yang lebih dari sebelumnya akan otomatis menghampiri jiwa kita. Kini, ku seduh kembali “Secangkir kekuatan” dan ku nyalakan “Sebatang Ritual Perdamaian” sebagai teman mengarungi rintangan-rintangan pelik ku berskripsi ria petang ini.
Bandung, 22 Januari 2011
0 komentar:
Posting Komentar